ARTICLE AD BOX
-
-
Berita
-
Politik
Senin, 30 Juni 2025 - 19:18 WIB
Jakarta, detikai.com - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan agenda antara pemilu nasional dan daerah. Dia menyebut ada norma nan dilampaui MK.
Awalnya, Rifqi menjelaskan, MK dibentuk sebagai negative legislature sehingga posisinya hanya memberikan pandangan terhadap satu norma Undang-Undang apakah konstitusional alias inkonstitusional terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).
Menurut dia, jika norma Undang-Undang itu dinilai inkonstitusional maka bakal diserahkan kepada Presiden alias pemerintah dan DPR untuk disempurnakan.
“Nah, sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi, bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional, tapi dia bikin norma sendiri,” kata Rifqi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 30 Juni 2025.
Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di MK.
Dijelaskan dia, jika itu terus terjadi maka cemas ke depannya Indonesia tak bisa menghasilkan satu kerakyatan konstitusional dan negara norma nan baik.
Rifqi juga mengeluhkan jika kelak pihaknya sudah merevisi Undang-Undang Pemilu dan UU-nya belum dilaksanakan, namun kemudian ada judicial review (uji materiil) dan diterbikan lagi norma baru.
Bagi dia, jika kondisinya seperti itu terus maka tak bisa saling menghargai antar lembaga negara.
"Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan nan sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini,” ujar Rifqi.
Meski begitu, Rifqi menilai perihal ini bisa menjadi pintu masuk bagi semua pihak untuk memandang lebih jauh proses pembentukan norma nasional Indonesia ke depannya.
Sebelumnya, putusan MK menyatakan Pemilu Presiden, pemilihan DPR, DPD RI bakal dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala wilayah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota mulai 2029 mendatang.
MK memutuskan sebagian permohonan nan diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengenai norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
"Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) dsn Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan norma mengikat secara bersyarat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025.
Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan pemungutan bunyi diselenggarakan secara serentak untuk memilih personil DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun alias paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan untuk memilih personil DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
"Sehingga Pemilu serentak nan selama ini dikenal sebagai Pemilu lima kotak tidak lagi berlaku," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.
Halaman Selanjutnya
"Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan nan sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini,” ujar Rifqi.