ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com — Tahun ini Jakarta kembali merayakan ulang tahun dengan menggelar Pekan Raja Jakarta (PRJ) di Jiexpo Kemayoran. Festival ini dimeriahkan beragam pameran mulai dari kesenian, kuliner, hingga otomotif.
Akan tetapi, belum banyak orang tahu bahwa PRJ dulu bermulai dari seremoni Ratu Belanda dan isinya tak hanya pameran, tapi juga diadakan pemilihan ratu waria.
Jejak awal PRJ dapat ditarik ke masa kolonial. Pada 1906, pemerintah kolonial Belanda mengadakan seremoni untuk memperingati penobatan Ratu Wilhelmina nan jatuh setiap 31 Agustus. Perayaan itu dinamakan Pasar Gambir. Sesuai namanya, seremoni diadakan di area Gambir, tepatnya di Koningsplein nan sekarang Monumen Nasional.
Pasar Gambir dilaksanakan setiap tahun dengan lama waktu dua minggu. Biasanya dimulai pada akhir Agustus sampai pertengahan September. Acaranya tak dipungut biaya, namalain gratis. Selama perayaan, Pasar Gambir diramaikan oleh beragam intermezo masyarakat. Mulai dari pemutaran bioskop, kesenian musik hingga pagelaran bela diri.
Selain itu, pemerintah melakukan perancangan unik agar letak pameran semakin meriah dan menarik perhatian masyarakat. Tak tanggung-tanggung, pemerintah sampai melibatkan arsitek ternama, J.H Antoinisse, untuk merancang gedung pameran.
Menurut Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an (2010), hasil rancangan itu memunculkan warna baru pada seremoni karena stan-stan letak setiap tahunnya berbeda desain. Misalkan pada 1924, Pasar Gambir bergaya Jepang. Lalu tahun selanjutnya bergaya Minang, Dayak, dan sebagainya.
Pada akhirnya, upaya pemerintah menyemarakkan pameran tersebut membuahkan hasil. Pasar Gambir sukses menjadi intermezo tahunan masyarakat nan tak sunyi pengunjung. Hanya saja, pelaksanaannya berakhir total pada 1942 ketika Jepang menjajah Indonesia.
Berubah Nama & Kontes Waria
Ketika Indonesia merdeka, aktivitas serupa pernah diadakan di Jakarta. Namun, tak sebesar Pasar Gambir. Barulah pada 1968, buahpikiran mengadakan kembali Pasar Gambir dimunculkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, (1966-1977). Dia rupanya punya memori tersendiri mengenai seremoni itu.
Sejak kecil, Ali sering mendengar cerita dari orang tua dan kerabat mengenai kemeriahan Pasar Gambir. Namun, dia sendiri tak bisa datang langsung ke sana lantaran Pasar Gambir keburu tutup akibat pendudukan Jepang di Indonesia.
Atas dasar inilah, saat jadi penguasa Jakarta, dia mau mewujudkan memori masa kecilnya itu. Terlebih, dia juga percaya seremoni serupa bisa menggenjot pendapatan Jakarta nan tetap kecil. Maka, lahirlah seremoni baru nan melanjutkan Pasar Gambir dengan nama Jakarta Fair. Lokasinya berada di Monas.
Nama Jakarta Fair dipilih Ali mengikuti seremoni serupa di luar negeri. Dia memandang banyak pameran sukses di dunia, seperti Hamburg Fair dan Leipzig Fair, nan mengemas aktivitas menggunakan embel-embel "Fair". Intinya dengan pakai "Fair" diharapkan Jakarta Fair kesuksesan itu bakal sukses.
Menariknya, aktivitas Jakarta Fair di tahun pertama bukan hanya terdapat pameran dan intermezo saja, tapi juga kontestasi ratu waria. Kontestasi pemilihan ratu waria dicetuskan Ali Sadikin untuk mengakomodasi kehidupan para waria di Jakarta.
Dalam catatan Kemala Atmojo di Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria (1986), kala itu, golongan waria sudah banyak di Jakarta. Mereka tersebar di sudut-sudut kota. Akan tetapi, mereka hidup sengsara. Statusnya nan demikian membikin mereka seakan-akan tak punya kewenangan hidup. Mereka seringkali dijauhi masyarakat.
Dengan kondisi demikian, tutur Ali dalam otobiografinya Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992), dia merasa bertanggungjawab atas nasib mereka. Baginya, kesengsaraan waria sama dengan kesengsaraan penduduk lain. Intinya, dia mau mengangkat derajat kesejahteraan waria lewat pameran Jakarta Fair.
Maka, terjadilah kontestasi ratu waria nan diikuti 151 peserta dan diadakan stan unik bagi para waria. Berkat itu semua, para waria sukses memunculkan gelak tawa dari hadirin nan mencapai 1,4 juta orang.
Acara Jakarta Fair lantas menjadi seremoni rutin setiap tahun dalam rangka HUT Jakarta. Namun, pada 1992, nama Jakarta Fair berubah menjadi Pekan Raya Jakarta. Perubahan nama ini juga dibarengi oleh perpindahan letak ke jejak Bandara Kemayoran.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]