ARTICLE AD BOX
detikai.com
Senin, 30 Jun 2025 22:20 WIB

Jakarta, detikai.com --
Partai NasDem menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan skema Pemilu sebagai corak pencurian terhadap kedaulatan rakyat.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat namalain Rerie menyebut lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu MK telah mengambil kewenangan legislatif mengenai open legal policy nan merupakan ranah DPR dan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"MK telah menjadi negative legislator sendiri nan bukan kewenangannya dalam sistem norma nan demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi norma dan konstitusi," ujarnya dalam konvensi pers di NasDem Tower, Senin (30/6).
Ia mengatakan perihal itu juga bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 nan menyatakan Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Kondisi tersebut, kata dia, berpotensi menimbulkan krisis apalagi deadlock constitutional lantaran dapat melanggar konstitusi.
"Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR, DPD, Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD RI 1945. Karena itu Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]
Sehingga, Rerie menyatakan NasDem meminta MK tunduk pada pemisah kebebasan kekuasaan kehakiman. NasDem juga mengatakan MK, dalam kapasitasnya sebagai guardian of constitution, tidak diberi kewenangan mengubah norma dalam UUD.
"MK tunduk pada pemisah kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membikin putusan merubah norma konstitusi UUD 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat," jelasnya.
MK sebelumnya memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan wilayah dipisahkan dengan jarak waktu paling singkat 2 tahun alias paling lama 2 tahun dan 6 bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan personil DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu wilayah terdiri atas pemilihan personil DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).
MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat secara bersyarat.
(tfq/chri)