ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Indonesia menempati ranking ke-5 sebagai negara dengan jumlah penderita glukosuria tertinggi di dunia. Data dari International Diabetes Federation (IDF) 2021 mencatat, ada sekitar 19,5 juta orang dewasa di Indonesia nan menderita diabetes.
IDF Diabetes Atlas jenis ke‑11 juga mencatat, sekitar 1 dari 9 orang dewasa usia 20-79 tahun di seluruh bumi alias sekitar 589 juta orang hidup dengan glukosuria pada tahun 2024 dan jumlah ini diperkirakan melonjak menjadi 853 juta pada tahun 2050. Lebih dari 40% penderita (kurang lebih 252 juta orang) apalagi tidak menyadari kondisinya dan pengeluaran dunia mengenai glukosuria pada 2024 menembus USD1triliun, naik sekitar 338% dalam 17 tahun terakhir.
Berikut adalah 5 negara dengan kasus glukosuria tertinggi di dunia:
- China (140,9 juta orang)
- India (74,2 juta orang)
- Pakistan (33 juta orang)
- Amerika Serikat (32,2 juta orang)
- Indonesia (19,5 juta orang)
Menurut Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), angka-angka tersebut menunjukkan tren nan mengkhawatirkan, mengingat peningkatan kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti glukosuria erat kaitannya dengan pola konsumsi makanan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL). Tak hanya diabetes, prevalensi obesitas di Indonesia juga meningkat dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir.
Berdasarkan info Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), nomor obesitas melonjak dari 10,5% pada 2007 menjadi 23,4% pada 2023. Salah satu penyumbang utama konsumsi gula harian masyarakat adalah minuman berpemanis dalam bungkusan (MBDK).
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 menunjukkan, dua dari tiga orang Indonesia mengkonsumsi setidaknya satu MBDK setiap hari. CISDI menilai, konsumsi rutin MBDK terbukti meningkatkan akibat beragam penyakit kronis.
"Konsumsi 250 ml MBDK per hari dapat meningkatkan akibat glukosuria jenis 2 sebesar 27%, obesitas sebesar 12%, hingga penyakit jantung dan kematian awal masing-masing 13% dan 10%," demikian laporan CISDI mengutip studi dunia meta analisis.
Di sisi lain, beban pembiayaan BPJS Kesehatan terhadap penyakit katastropik nan berangkaian dengan obesitas, diabetes, dan hipertensi juga terus meningkat. Dalam lima tahun terakhir, nilainya melonjak lebih dari 43%, dari Rp19 triliun pada 2019 menjadi Rp32 triliun pada 2023.
Sebagai corak pencegahan, CISDI mendorong pemerintah segera menerapkan kebijakan pelabelan gizi di bagian depan bungkusan (Front-of-Package Labeling/FOPL) dan pemberlakuan cukai untuk MBDK. Langkah ini dinilai krusial untuk mengendalikan konsumsi GGL dan menurunkan akibat penyakit tidak menular.
Dalam laporannya CISDI menegaskan, bahwa tanpa intervensi nan tegas, nomor glukosuria di Indonesia berpotensi terus naik seiring dengan semakin mudahnya akses terhadap pangan tidak sehat. Langkah-langkah tersebut juga selaras dengan sasaran pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, ialah menekan laju peningkatan obesitas dan penyakit kronis lainnya.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daun Kelor Bisa Jadi Obat Diabetes, Mitos alias Fakta?